Monday, August 29, 2016

KERJA: MARKETING DAN STAFF APPRAISAL

Jobs Marketing and Appraisal Analisys

KARIR MARKETING & APPRAISAL

1. MARKETING OFFICER
    Syarat :
    - MS Office
    - S1 atau D3 berpengalaman min 2 tahun, IPK 2,75 (Skala 4)
    - Usia dibawah 30 tahun
    - Kemampuan komunikasi dengan baik
    - Percaya diri, cekatan dan pekerja keras
    - Berpenampilan menarik
    - Diutamakan berdomisili di tangerang
    - Mampu bekerjasama dengan tim

2. APPRAISAL ANALISYS
    Syarat :
    - MS Office
    - S1 atau D3 berpengalaman Min 2 tahun, IPK 2,75 (Skala 4)
    - Usia dibawah 30 tahun
    - Kemampuan komunikasi dengan baik
    - Min sudah lulus pendidikan PDP1 Properti (MAPPI)
    - Mampu bekerjasama dengan tim
    - Jujur, disiplin dan bertanggung jawab
    - Diutamakan berdomisili ditangerang

Silahkan kirim CV ; arif.valuer@gmail.comgooglewww.google.comLOW

Lowongan Marketing dan Appraisal

Jobs Marketing and Appraisal Analisys

KARIR MARKETING & APPRAISAL

1. MARKETING OFFICER
    Syarat :
    - MS Office
    - S1 atau D3 berpengalaman min 2 tahun, IPK 2,75 (Skala 4)
    - Usia dibawah 30 tahun
    - Kemampuan komunikasi dengan baik
    - Percaya diri, cekatan dan pekerja keras
    - Berpenampilan menarik
    - Diutamakan berdomisili di tangerang
    - Mampu bekerjasama dengan tim

2. APPRAISAL ANALISYS
    Syarat :
    - MS Office
    - S1 atau D3 berpengalaman Min 2 tahun, IPK 2,75 (Skala 4)
    - Usia dibawah 30 tahun
    - Kemampuan komunikasi dengan baik
    - Min sudah lulus pendidikan PDP1 Properti (MAPPI)
    - Mampu bekerjasama dengan tim
    - Jujur, disiplin dan bertanggung jawab
    - Diutamakan berdomisili ditangerang

Silahkan kirim CV ; arif.valuer@gmail.comgooglewww.google.com

Jobs Marketing and Appraisal Analisys

KARIR MARKETING & APPRAISAL

1. MARKETING OFFICER
    Syarat :
    - MS Office
    - S1 atau D3 berpengalaman min 2 tahun, IPK 2,75 (Skala 4)
    - Usia dibawah 30 tahun
    - Kemampuan komunikasi dengan baik
    - Percaya diri, cekatan dan pekerja keras
    - Berpenampilan menarik
    - Diutamakan berdomisili di tangerang
    - Mampu bekerjasama dengan tim

2. APPRAISAL ANALISYS
    Syarat :
    - MS Office
    - S1 atau D3 berpengalaman Min 2 tahun, IPK 2,75 (Skala 4)
    - Usia dibawah 30 tahun
    - Kemampuan komunikasi dengan baik
    - Min sudah lulus pendidikan PDP1 Properti (MAPPI)
    - Mampu bekerjasama dengan tim
    - Jujur, disiplin dan bertanggung jawab
    - Diutamakan berdomisili ditangerang

Silahkan kirim CV ; arif.valuer@gmail.com


Sunday, March 28, 2010

Public Appraiser: Prospek Apartemen di Jakarta 2010

Public Appraiser: Prospek Apartemen di Jakarta 2010

Prospek Apartemen di Jakarta 2010



Oleh Ahmad Arif Maulana, MAPPI No. T-1936

Prospek apartemen menengah tetap menjanjikan asal tepat memilih lokasinya. Ada fenomena menarik dalam bisnis properti setahun terakhir. Di pasar apartemen seken di Jakarta penawaran apartemen lebih banyak dibanding rumah biasa (landed residential). Anda bisa melihatnya antara lain pada iklan baris sebuah koran besar. Seorang developer di Pondok Aren, Tangerang, sempat mempertanyakannya. “Itu fenomena apa?”.


Praktisi properti Hary Jap dari Indoproperty Real Estate yang banyak menggarap pasar Pondok Indah (Jakarta Selatan), serta Kelapa Gading dan Pluit (Jakarta Utara), mengungkapkan, belakangan transaksi rumah seken memang lesu. Ia belum tahu persis penyebabnya. Tapi, mungkin saja karena banyaknya penawaran apartemen menengah.


Menurut Anton Sitorus, Research Capital Markets Manager Jones Lang LaSalle, produksi kondominium (apartemen strata title, Red) dalam lima tahun terakhir memang sangat banyak, sementara permintaannya segitu-gitu saja. “Sebaliknya proyek perumahan sebenarnya under development. Kebutuhannya banyak banget tapi produksinya sedikit,”.


Jakarta Quarterly Property Market Review 2007 yang dilansir PT Procon Indah mengungkapkan, total pasok kondominium di Jakarta hingga 2007 mencapai hampir 57.000 unit. “Sekitar 37.000 unit dibangun dalam lima tahun terakhir. Sedangkan sisanya dikembangkan sepanjang 1990 - 2000,” Jadi, pasok kondominium memang banyak.


Tidak masalah sebenarnya, karena permintaan juga tinggi. Buktinya, tingkat penjualan kondominium secara keseluruhan menurut catatan Procon rata-rata masih di atas 90 persen. Hanya, problemnya pasok sering menumpuk di beberapa lokasi, sementara di lokasi lain sangat kurang atau bahkan tidak ada. “Developer kan suka latah. Satu masuk CBD (kawasan pusat bisnis), semua menggarap CBD. Padahal, permintaan ada di tempat lain.


Sering juga karena melihat bagusnya respon konsumen, belum selesai proyek pertama, developer sudah melansir proyek kedua. Akibatnya, penjualan proyek berikutnya seret. “Memang, pada akhirnya semua unit akan terjual, tapi harus menunggu berapa tahun,” lanjutnya. Akibat lebih jauh, konsumen mulai trauma. Banyak yang membeli tapi sulit menyewakannya kembali Padahal, dulu developer menjanjikan, apartemen bisa disewakan dengan yield (pendapatan) 8 – 9 persen. “Konsumen kita kan kebanyakan membeli masih untuk investasi. Memang makin banyak apartemen yang dihuni sendiri, tapi pada akhirnya akan disewakan juga,” ujarnya. Itulah kenapa banyak apartemen ditawarkan di pasar seken. Terutama apartemen menengah yang stoknya paling banyak.


Meskipun demikian prospek apartemen menengah seharga Rp 300 jutaan sampai Rp 500 jutaan tetap menjanjikan. “Residensial itu penjualannya masih bagus. Tahun ini kalau suku bunga seperti ini terus, itu akan mem-push penjualan, apalagi penawaran baru makin sedikit. Bunga yang rendah itu juga akan mendorong investor membeli properti karena properti memberikan return yang lebih tinggi. “Ini juga akan men-drive aktivitas penjualan,”

Mengutip sebuah hasil penelitian, setiap penurunan bunga satu persen akan meningkatkan permintaan 4 – 5 persen. Karena itu yang sudah terlanjur membeli sebaiknya tidak buru-buru melepas apartemennya. “Sekarang memang lagi jatuh harganya, tapi nanti akan naik lagi,”. Pasalnya, dengan bunga rendah, ekonomi makin membaik, dan pasok makin sedikit, apartemen diperkirakan akan booming pada 2009 atau 2010. Saat itu harganya sudah tinggi, disewakan juga lebih mudah. Yang penting apartemen Anda berada di lokasi yang sesuai.


“Ada investor yang mengeluh, dia beli apartemen karena mendengar permintaannya banyak, tapi kenyataannya sulit disewakan. Saya bilang sebenarnya investasi itu tetap menguntungkan tapi Bapak salah pilih lokasi,” ungkapnya. Sama seperti rumah, memilih lokasi apartemen juga bersifat subjektif tergantung kebutuhan, selera, dan prioritas masing-masing. Tapi, jelas lokasi harus dekat atau mudah diakses dari tempat kerja.


“Kalau aksesnya sama sulitnya dengan rumah di pinggir kota, mending beli rumah di pinggir kota,”. Di sekitar apartemen juga tersedia banyak fasilitas publik sehingga anda dan keluarga bisa memenuhi semua kebutuhan dengan mudah: sekolah, klinik, rumah sakit, pusat belanja, dan lain-lain. Sementara fasilitas di dalam apartemen cukup yang standar yang memang dibutuhkan. “Jangan terbuai kelengkapan dan kemewahan fasilitas, karena akan berdampak pada harga jual yang tinggi,”.


Jangan lupa mempertimbangkan prospek investasinya, supaya kalau tidak ditinggali, apartemen mudah disewakan dan tidak idle. Relatif mudah menandai apartemen yang memenuhi kriteria itu. Pertama, berlokasi di kawasan padat dengan harga tanah sudah tinggi yang tidak mungkin lagi dibangun landed house. Minat orang tinggal di situ juga tinggi, baik karena citra elite maupun karena kelengkapan fasilitas dan kemudahan akses ke pusat bisnis seperti Sudirman-Thamrin dan Gatot Subroto-Kuningan, atau perdagangan dan hiburan seperti Mangga Dua, Pasar Baru, dan Mangga Besar.


Contoh-contoh lokasinya adalah Slipi, Tomang, Tanjung Duren, Kembangan, Permata Hijau, Tebet, Kebayoran Baru, Gajah Mada, Pasar Baru, Gunung Sahari, Kemang, Cipete, Cilandak, Pondok Indah, Bangka, Warung Buncit, Pejaten, dan Pasar Minggu. Minat orang tinggal di kawasan-kawasan itu tinggi, tapi stok tanah sudah minim. Kalaupun ada dan dibangun rumah biasa, harganya sudah sangat mahal.


Kedua, konsep pengembangan dan harga jualnya sesuai dengan income basis di kawasan. Gampangnya, kalau di kawasan banyak berdiri perguruan tinggi atau tempat hiburan malam, yang ditawarkan apartemen tipe kecil atau studio (21 – 45 m2) dengan harga Rp6 – Rp8 juta per m2. Begitu pula kalau kawasan mudah dicapai dari pusat bisnis dan perdagangan, yang dibangun apartemen menengah dengan tipe sedikit lebih besar seharga Rp9 – Rp11 juta per m2 yang terjangkau para karyawan dan profesional.


Apartemen seperti itu mudah disewakan dan cepat naik harganya. Yang semula masih ngontrak atau kos mampu membelinya. Atau paling tidak yang tadinya kos di rumah biasa bisa beralih menyewa apartemen. “Kayak pekerja hiburan malam di Mangga Besar, pasti lebih senang tinggal di apartemen karena sewanya relatif sama dengan rumah biasa, sementara privasi, keamanan, dan kenyamanannya jauh lebih baik,”.


Ketiga, stok apartemen sekelas di kawasan tidak terlalu banyak. Makin sedikit makin baik, karena makin cepat naik harganya dan kian mudah disewakan. Saat ini stok apartemen menengah di kawasan ring 1 sudah sangat sedikit. Tinggal Taman Rasuna (Kuningan) dan Thamrin Residences (Kebon Kacang) yang masih menawarkan. Karena itu pengembangan melebar ke ring 2 seperti Pasar Baru, Gunung Sahari, Tanjung Duren, Bangka, Mampang, Pasar Minggu, dan Pejaten.


Ada lima contoh apartemen yang disebut IPW yang memenuhi kriteria di atas: Thamrin Residences di Jl Kebon Kacang (Jakarta Pusat), Mediterania Garden Residences di Jl Tanjung Duren (Jakarta Barat), Taman Rasuna di CBD Kuningan (Jakarta Selatan), Pasar Baru Residence di Pasar Baru, dan Grand Kartini di Gunung Sahari, keduanya di Jakarta Pusat. Hanya, tidak ada yang menonjol dalam semua kriteria. Masing-masing menonjol dalam satu atau dua kriteria dibanding yang lain.


Thamrin Residences misalnya, terbaik dari sisi lokasi karena hanya beberapa ratus meter dari Bundaran Hotel Indonesia. Itulah sebabnya harganya paling tinggi, Rp 11 – Rp 12 juta/m2. Sebaliknya, Mediterania Garden Residences terbaik dari sisi pertumbuhan karena berada di dalam superblok Podomoro City (22 ha) yang akan dilengkapi aneka fasilitas. Di sekitar kawasan banyak berdiri sekolah, perguruan tinggi, pusat belanja, dan rumah sakit.


“Keberadaan superblok itu menjadi semacam peremajaan wilayah,”. Lokasinya juga bagus, di antara CBD dan Bandara Soekarno-Hatta. “Ke Semanggi sangat dekat, ke Roxy atau Mangga Dua mudah, dan ke bandara gampang,”. Dengan berbagai kelebihan itu potensi kenaikan apartemen menjadi tinggi, karena dijual hanya sekitar Rp 8 juta/m2.


Lain lagi Pasar Baru Residence, berada di kawasan superpadat yang propertinya umumnya disewakan (tidak ada yang mau menjual), dan suplai tanahnya sudah nol. Karena itu dengan harga jual sekitar Rp 8 juta/m2, apartemen ini terbilang terbaik dari sisi nilai jual dan optimalisasi lahan. Soalnya, harga tanah di kawasan Pasar Baru sudah Rp10 – 11 juta/m2. Jadi, pertumbuhan capital gain dan pasar sewanya tinggi.


Sementara Taman Rasuna yang dijual Rp 8 jutaan/m2, menyatu dengan mega-superblok Rasuna Epicentrum (51 ha), tergolong apartemen dengan konsep hunian terbaik dan fasilitas terlengkap. Meskipun bukan apartemen mahal, pengembangan memperhitungkan dengan baik lansekapnya sebagai hunian. Fasilitas di dalam dan di sekitar kawasan pun sangat lengkap. Sedangkan Grand Kartini yang dijual Rp6 jutaan/m2 termasuk apartemen dengan income basis terbaik karena dilingkungi pusat perdagangan seperti Senen, Pasar Baru, dan Mangga Dua, serta tempat hiburan malam seperti Mangga Besar.

Tuesday, December 8, 2009

Pendekatan CVM dalam Penilaian Sumberdaya Kawasan

Teknik Penilaian Ekonomi Sumberdaya Kawasan dengan
Pendekatan Contingent
Valuation Method (CVM)


Pendahuluan

Dalam konteks ekonomi sumberdaya, keterbatasan alam dalam menyediakan sumberdaya ini dapat menimbulkan kelangkaan sumberdaya, termasuk dalam konteks ini sumberdaya kawasan dan lahan. Kelangkaan ini dapat terjadi bilamana jumlah permintaan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semakin besar, terlebih lagi pola pertumbuhan manusia seiring waktu mengikuti pola pertumbuhan eksponensial (Teorema Maltus) yang selalu akan meningkat seiring berjalannya waktu. Sementara itu, pola pertumbuhan sumberdaya alam yang terbaharukan misalnya lebih sering bersifat logistik yang berarti bahwa jika frekuensi ekstraksi dilakukan secara berlebihan di atas kemampuan sumberdaya untuk tumbuh, maka ketersediaan sumberdaya alam tersebut lama kelamaan akan habis. Contoh nyata pola pertumbuhan logistik ini terjadi pada sumberdaya ikan, dimana jika ekstraksi ikan dilakukan secara berlebihan akan menimbulkan lebih tangkap (over-fishing) yang selanjutnya berdampak pada penurunan sumberdaya dan akhirnya punah. Hal ini terbukti dari adanya beberapa spesies ikan yang disinyalir telah mengalami kepunahan, seperti ikan terubuk dan beberapa ikan lainnya.

Perkembangan selanjutnya tentang keterkaitan antara alam dan manusia (produsen dan konsumen) menstimulan para ahli di bidang ekonomi sumberdaya untuk menggali lebih jauh seberapa besar preferensi atau penghargaan manusia terhadap sumberdaya yang disediakan oleh alam. Preferensi ini sangat tergantung pada karakteristik manusianya, seperti pendapatan, umur, pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena itu, ukuran preferensi ini dapat diperoleh melalui pendekatan survei. Penilaian preferensi manusia terhadap sumberdaya kemudian berkembang menjadi sebuah metode untuk mengukur seberapa besar nilai sumberdaya berdasarkan preferensi manusia atau lebih dikenal sebagai Continget Valuation (CV).

Konsep Dasar dan Metodologi

Menurut FAO (2000), penilaian berdasarkan preferensi (Contingent Valuation) adalah sebuah metode yang digunakan untuk melihat atau mengukur seberapa besar nilai suatu barang berdasarkan estimasi seseorang. CV juga dapat diumpamakan sebagai suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberikan seseorang untuk memperoleh suatu barang (willingness to pay, WTP) dan seberapa besar nilai yang diinginkan untuk melepaskan suatu barang (willingness to accept, WTA).

Barton (1994) menyebutkan bahwa CV digunakan pada kondisi dimana masyarakat tidak mempunyai preferensi terhadap suatu barang yang langsung diperjualbelikan di pasar. Pendekatan CV dilakukan untuk mengukur preferensi masyarakat dengan cara wawancara langsung tentang seberapa besar mereka mau membayar (WTP) untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih atau menerima kompensasi (WTA) bilamana mereka harus kehilangan nuansa atau kualitas lingkungan yang baik.

Lebih lanjut Barton (1994) berpendapat bahwa metode CV secara umum lebih memberikan penekanan terhadap nilai pentingnya suatu barang dibandingkan dengan nilai barang yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mengeliminasi beberapa pilihan kebijakan dan menawarkan informasi penting dalam penentuan keputusan.

Metodologi

FAO (2000) menunjukkan bahwa tujuan dari CV adalah untuk mengukur variasi nilai kompensasi dan nilai persamaan suatu barang yang ditanyakan. Variasi nilai konpensasi dan nilai persamaan dapat ditentukan dengan bertanya kepada seseorang untuk memberikan sejumlah satuan moneter yang ingin dibayarkan.

Contingent Valuation (CV) digunakan untuk menghitung nilai amenity atau estetika lingkungan dari suatu barang publik (public good). Barang publik dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai suatu barang yang dapat dinikmati oleh satu individu tanpa mengurangi proporsi individu lain untuk menikmati barang tersebut. Oleh karena itu, keinginan untuk membayar satu individu seperti yang diperoleh dalam kuesioner survai dapat diagregasi menjadi nilai keseluruhan populasi (Barton, 1994). Kehati-hatian harus dilakukan untuk mewawancarai seorang responden dengan memberikan selang nilai yang lebih besar agar dapat diperoleh sampel yang lebih representatif.

Berikut ini adalah metode-metode yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur besarnya WTP/WTA suatu individu. Gambaran lengkap tentang metode-metode ini secara detail dapat dilihat pada Dixon et al (1988) dan Hufscmidt et al (1983).

(i) Permainan Penawaran (Bidding Games)

Dalam pengukuran dengan metode permainan penawaran ini, dua tipe proses penawaran dapat disusun dan lebih sering dilakukan secara bersama untuk memperoleh suatu cek yang terukur. Permainan pertama dilakukan secara sendiri-sendiri. Dalam permainan ini seseorang melakukan penawaran untuk sebuah perubahan lingkungan yang terduga dengan bertanya secara langsung. Permainan kedua dilakukan melalui proses iterasi dengan cara melakukan penawaran secara berulang yang terpusat pada satu nilai untuk memperoleh WTP/WTA.

(ii) Menerima atau Menolak (Take it or leave it experiments; TILI)

Dalam metode pengukuran ini, sampel populasi dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok ditawarkan suatu perubahan lingkungan yang sama dengan tingkat harga yang berbeda dan diminta untuk menerima atau menolak keadaan tersebut. Simulasi seperti ini dapat membawa responden untuk memperoleh gambaran riil tentang keadaan pasar yang menawarkan suatu barang dengan tingkat harga tertentu sehingga dapat memutuskan untuk membeli barang tersebut atau tidak.

(iii) Permainan Pilihan (Trade off games)

Pada metode pengukuran dengan permainan ini, responden ditawarkan beberapa kombinasi keadaan lingkungan dengan sejumlah uang. Melalui pilihan responden terhadap berbagai kombinasi yang berbeda (lingkungan A dengan nilai A dan lingkungan B dengan nilai B dan seterusnya), maka perubahan penilaian masyarakat terhadap kualitas lingkungan dan nilai moneternya dapat ditentukan.

(iv) Pilihan tidak bernilai (Costless choice)

Pada dasarnya metode penilaian dengan pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan permainan pilihan, kecuali bahwa alternative penawaran tersebut tidak disertai dengan pilihan uang, tetapi diperbandingkan dengan barang yang harganya lebih umum dikenal. Pendekatan ini sangat relevan untuk dilakukan di wilayah negara berkembang yang harga pasar aktual tidak berlaku secara tetap dan beberapa hal tidak selalu dinilai dengan uang. Misalnya saja pada kondisi ekonomi yang subsisten.

(v) Delphi Technique

Teknis penilaian dengan menggunakan metode ini dilakukan melalui proses iteratif berdasarkan hasil estimasi ahli yang diberikan pertanyaan untuk menentukan seberapa besar nilai keberadaan statu lingkungan. Dalam hal ini, para ahli akan ditanya secara langsung besarannya. Penilaian dengan menggunakan metode ini akan mempunyai menghasilkan nilai yang bias, namun sangat menguntungkan dari sisi kecepatan untuk memperoleh estimasi nilai.

Tipologi Nilai Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lahan

Tipologi Nilai Ekonomi Dalam Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lahan

Banyak literatur dalam bidang valuasi ekonomi seperti Barton (1994), Barbier (1993), Freeman III (2002) menggunakan tipologi nilai ekonomi dalam terminologi Total Economic Value (TEV). Dalam konteks ini, TEV merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/ penggunaan (Use Value; UV) dan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan/ penggunaan (Non-Use Value; NUV). UV terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value; DUV), nilai ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value; IUV), nilai pilihan (Option Value; OV). Sementara itu, nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan (NUV) terdiri dari 2 komponen nilai yaitu nilai bequest (Bequest Value; BV) dan nilai eksistensi (ExistenceValue; EV). berikut ini menyajikan tipologi TEV di mana definisi dan contoh dari masing-masing nilai tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Total Economic Value

Use Value

Non Use Value

Direct

Indirect

Option

Beguest

Existence

Use Value

Use Value

Value

Value

Value

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) +(XV + BV)

TEV = Total Economic Value

UV = Use Value

NUV = Non Use Value

DUV = Direct Use Value

IUV = Indirect Use Value

OV = Option Value

XV = Existence Value

BV = Bequest Value

Teknik valuasi ekonomi terbagi atas pendekatan langsung dan tidak langsung (direct and indirect approaches). Pendekatan langsung dilakukan melalui suvey dan percobaan seperti metode Contingen Valuation (CV). Metode ini menggunakan metode wawancara dan pengisian kuesioner dengan masyarakat terhadap perubahan lingkungan yang diusulkan. Pendekatan tidak langsung dilakukan melalui penggalian informasi tidak langsung, yaitu melalui pengamatan transaksi barang dan jasa di pasar. Teknik pengukuran ini meliputi Harga Hedonic (Hedonic Pricing), Teknik Pengupahan

(Wage Techniques), Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Methode), Perilaku Mencegah Pencemaran (Avertive Behaviour) dan Pendekatan Pasar Konvensional (Conventional Market Approaches). Beberapa teknik analisis Nilai Ekonomi (Economic Valuation) 3 yang dapat digunakan dapat dijelaskan dalam uraian di bawah ini.

Pendekatan Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)

Contingent Valuation Metode ini merupakan ungkapan atau pernyataan masyarakat dalam menghadapi perubahan lingkungan. Metode Valuasi Contingent adalah teknik survey untuk memperoleh nilai tentang harga yang diberikan pada komoditas lingkungan yang tidak memiliki pasar. Asumsi dasar: (a) Masyarakat memahami tentang pilihan yang ditawarkan, dan (b) apa yang dikatakan hádala sesuatu yang akan terjadi. Spesifikasi metode ini adalah sebagai berikut:

Pendekatan Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Indirect Use Value)

Pendekatan Pasar Konvensional

Metode ini digunakan dalam pendekatan pasar konvensional sebagai informasi dasar dalam pendugaan nilai perubahan lingkungan.

Jenis Hama dan Penyakit Tanaman Jati

Jenis – Jenis Hama dan Penyakit Tanaman Jati

Hama potensial yang biasanya menyerang beberapa pohon hutan termasuk Jati (Tectona grandis ) dalam suatu areal hutan yaitu :

Hama Benih

Diantaranya adalah ulat Dichorocis punctiferalis dan Pagyda salvalis dari Lepidoptera yang merupakan hama terpenting. Ulat menyerang mesokarp dan keping biji yang belum keras yang digunakan sebagai cadangan makanan. Waktu serangan biasanya pada musim berbuah , yaitu antara bulan Juni hingga November. Selain hama di atas hama penyerang benih yang lain yaitu Gargara carinata, Gargara flavocarinata, Gargara pulchella, Leptocentru vicarius dari ordo Homoptera dan Lasioderma serricome dari ordo Coleoptera.

Hama di Persemaian

Jenis hama di persemaian terdiri dari jenis Anomala sp, Clinteria klugi, Holotrichia sp, Oryctes rhinoceras dan Lachnostera spp dari ordo Coleoptera. Jenisjenis rayap yang menyerang akar adalah Microcerotermes sp dan Odontotermes spp. Selain itu dijumpai jenis Tarbinskiellus portentosus yang menyerang batang dan daun anakan di persemaian. Jenis hama yang menyerang daun anakan lainnya adalah Aullarches miliaris, Eucoptarca sp, Euprepocnemis sp, Hieoglyphus sp dan Teratodes sp.

Hama di areal Pertanaman

Jenis hama yang menyerang areal pertanaman Jati sesuai daerah dan organ yang diserang adalah :

(1) Hama yang menyerang daun yaitu dari Coleoptera 41 jenis, Lepidoptera 80 jenis, Orthoptera 18 jenis. Jenis hama penting yang perlu diperhatikan yaitu Eutectona machareallis dari Lepidoptera dan Hyblaea puera juga dari Lepidoptera.

(2) Hama yang menyerang batang atau hama penggerek batang seperti Cossus cadambae, Endoclita chalybeata, Idarbela quadrinotata, Sahyadrassus malabaricus dari Lepidoptera dan Dihammus cervicus dari Coleoptera. Sedangkan jenis insekta yang sering menimbulkan gall atau kanker yaitu Asphodylia tectonae dari Diptera, Anoplocnemis taistator, Icerya fomicarum, Laccifer lacca, Planococcus sp, dan Perisopneumon sp dari Homoptera. Gejala penyakit kanker muncul setelah 3-4 tahun terjadi serangan, bahkan ada yang 7 tahun. Gejala yang tampak antara lain batang membengkak dan berlubang-lubang, serta warna kulit batang berubah menjadi coklat kehitaman akibat keluarnya lendir. Kualitas kayu dari tanaman yang terserang akan turun sehingga nilai jualnya akan turun.

Penyakit potensial yang biasanya menyerang beberapa pohon hutan termasuk Jati (Tectona grandis ) dalam suatu areal hutan yaitu :

Penyakit akar

Jenis gangguan pada akar tanaman Jati yang sering dijumpai hádala Pseudomonas Tectonae. Penyakit ini ditandai dengan adanya daun yang menguning dan kemudian berubah menjadi coklat. Penyakit ini sulit diberantas. Selain itu juga dijumpai jamur akar Armilaria melea, Phellinus hellinus, Phellinus lamaonsis, Phellinus noxius, Helicobasidium compactum, Phellinus rhizomorpho, Ustulina deusta, Xylaria thwaittesii, Polyporus zonalis, Polyporus shoreae serta jenis cendawan akar merah Rigidoporus lignosus.

Penyakit Batang

Jenis penyakit yang menyerang batang tanaman Jati di antaranya Corticium salmonicolor dan Nectria haematococca sebagai penyebab kanker batang. Serangannya ditandai dengan daun layu dan berwarna hitam gelap, muncul tubuh buah jamur yang menebal berwarna putih hingga merah jambu pada kulit luar, timbul benjolan lapisan gabus pada permukaan batang, kulit kayu pecah-pecah kemudian terjadi luka dan berlubang-lubang arah memanjang.

Penyakit pucuk daun

Jenis penyakit yang menyerang pucuk daun yaitu Stemphyllum sp, dan Phomopsi tectonae serta jenis Ganoderma applanatum dan Phellinus lamoensis yang menyebabkan akar berwarna coklat. Jenis lain yang menyerang daun di antaranya Cercospora sp, Mycosphaerella sp, Sphaceloma sp, Sclerotium sp, Podospora sp, Xanthomonas sp, Rhizoctonia sp, Marasmius sp serta Phyllactinia sp. Adapun serangan penyakit pucuk daun dapat dilihat dari tanda-tanda munculnya bercak-bercak coklat tua, daun mengering dan kehilangan turgor, daun layu dan rontok, bila dicabut jaringan kayu berwarna gelap sampai hitam serta batang pada permukaan tanah menjadi lunak dan basah.

DAFTAR PUSTAKA

Adisubroto, S dan Priasukmana, 1985, Teknik Pembangunan Persemaian Eucalyptus pellita Wild, Jurnal Peneitian dan Pengembangan Hutan, Bogor.

Sumarna Yana, 2001, Budi Daya Jati, Penebar Swadaya, Jakarta

Pentingnya Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

Pentingnya Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nilai ekonomi suatu komoditas (good) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai ”berapa yang harus dibayar” dibanding ”berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdayanya eksis serta menyediakan

barang dan jasa bagi kita, maka ”kemampuan membayar” (willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa memasalahkan apakah kita secara nyata melakukan proses pembayaran (payment) atau tidak (Barbier, et.al, 1997).

Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi, karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunaan pendekatan valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat dan ”kerugian” (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (fairness).

Sebagai contoh, dalam kasus mempertahankan sebuah kawasan ekosistem sebagai kawasan preservasi, maka pengambil keputusan akan mempertimbangkan biaya-biaya langsung yang diperlukan untuk menjaga kawasan tersebut ditambah dengan potensi hilangnya manfaat pembangunan apabila kawasan tersebut dikonversi. Total costs ini lah yang kemudian menjadi basis bagi pengambilan keputusan dan dapat didekati dengan metode valuasi ekonomi. Demikian juga sebaliknya (vice versa) dalam kasus konversi ekosistem menjadi pemanfaatan lain. Selain biaya langsung yang diperlukan untuk mengkonversi ekosistem, maka nilai-nilai ekosistem yang hilang akibat konversi tersebut harus pula dipertimbangkan. Masalahnya, nilai ekosistem tersebut tidak seluruhnya dapat didekati dengan menggunakan pendekatan pasar (market approach), sehingga seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan sektor swasta (private) maupun sektor publik. Dengan demikian, estimasinya seringkali masuk ke dalam kategori under-estimate yang pada akhirnya berdampak pada ”kesalahan” tingkat eksploitasi terhadap ekosistem tersebut.

Dalam konteks tersebut di atas, maka tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi (economic efficiency) dari berbagai pemanfaatan (competing uses) yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada di kawasan. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut.

Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konteks nilai manfaat masyakarat bersih (net gain to society) tidak dipertimbangkan dalam term ”economic efficiency”. Oleh karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (fair) seperti yang dianut oleh kalangan ecological economist. Secara diagram, fungsi keterkaitan antara valuasi ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Dengan demikian Valuasi Ekonomi merupakan salah satu domain (ranah) dari Ilmu Ekonomi. Pendekatan ekonomi lingkungan paling sedikit memiliki tiga pokok kajian, yakni : (1) Membahas penggunaan dan degradasi sumberdaya, terutama untuk memahami secara ekonomi dalam penetapan harga yang dipandang terlalu rendah, property right yang belum sempurna, struktur insentif yang berkontribusi pada kerugian pada lingkungan; (2) Mengukur jasa lingkungan, meliputi pengukuran maksimisasi aset lingkungan, untuk memaksimalkan nilai aset lingkungan, maka harus diketahui nilai jasa lingkungan, termasuk penggunaan dalam penerimaan limbah; (3) Menghambat degradasi lingkungan untuk mencapai tahap pembangunan berkelanjutan (Ho-Sung OH, 1993).

Monday, December 7, 2009

Konsep Ekonomi Tentang Nilai Dalam Penilaian Sumber Daya Kawasan dan Lahan (Pandangan Ecological Economics)

Teori Penilaian Ekonomi Sumberdaya Kawasan dan Lahan

Oleh : Ahmad Arif Maulana (Senior Appraiser – TNR Consultant)


Konsep Ekonomi Tentang Nilai : Pandangan Ecological Economics

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya valuation merujuk pada kontribusi sebuah komoditas untuk mencapai tujuan tertentu. Seorang pemain sepakbola dinilai tinggi apabila kontribusi pemain tersebut tinggi pula untuk kemenangan tim-nya. Sedangkan dalam konteks ekologi, sebuah gen dianggap bernilai tinggi apabila mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari individu yang memiliki gen tersebut. Singkat kata, nilai sebuah komoditas tergantung dari tujuan spesifik dari nilai itu sendiri. Dalam pandangan neoklasik, nilai sebuah komoditas terkait dengan tujuan maksimisasi utilitas/kesejahteraan individu. Dengan demikian apabila ada tujuan lain, maka ada “nilai” yang lain pula.

Berbeda dengan pandangan neoklasik, dalam pandangan ecological economics, tujuan valuation tidak semata terkait dengan maksimisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi (Constanza dan Folke, 1997). Bishop (1997) pun menyatakan bahwa valuation berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan ekologi dan keadilan distribusi tersebut. Dalam konteks ini, kemudian Constanza (2001) menyatakan bahwa perlu ada ketiga nilai tersebut yang berasal dari tiga tujuan dari penilaian itu sendiri.

Valuaso Ekosisterr Brdasarkan Tiga Tujuan Utama Efisiensi, Keadlilan dan Keberlanjutan

Tujuan/Dasar

Kelompok

Tingkat Diskusi

Metode

Nilai

Responden

yg diperlukan

Spesifik

Efisiensi (E-Value)

Homo Economicus

Rendah

Willingness to Pay

Keadilan (F-Value)

Homo Communicus

Tinggi

Veil of Ignorance

Keberlanjutan (S-Value)

Homo Naturalis

Medium

Modeling

dapat dilihat bahwa dalam pandangan Ecological Economics, nilai tidak hanya dilihat dari tujuan maksimalisasi preferensi individu seperti yang dikemukakan oleh pandangan neoklasik (E-value), melainkan ada nilai lain yaitu keadilan (F-value) yang berbasis pada nilai-nilai komunitas, bukan individu. Dalam konteks F-value ini, nilai sebuah ekosistem ditentukan berdasarkan tujuan umum yang biasanya dihasilkan dari sebuah konsensus atau kesepakatan antara anggota komunitas (homo communicus).

Metode valuasi yang tepat untuk tujuan ini adalah “veil of ignorance” (Rawls, 1971) di mana responden memberikan penilaian dengan tanpa memandang status dirinya dalam komunitas. Sementara itu, S-value yang bertujuan mempertahankan tingkat keberlanjutan ekosistem lebih menitikberatkan pada fungsi ekosistem sebagai penopang kehidupan manusia. Dalam konteks ini, manusia berperan sebagai “homo naturalis” yang menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem secara keseluruhan (sistem alam dan sistem manusia). Modeling adalah salah satu spesifik metodologi yang dapat digunakan dalam konteks S-value ini (Vionov, 1999; Constanza, et.al., 1993).

Secara empiris, valuasi ekosistem berbasis pada dua nilai terakhir (Fvalue dan S-value) relatif masih sedikit dilakukan. Namun demikian hal ini tidak mengurangi semangat dari pandangan ecological economics bahwa perlu ada penyusunan format nilai ekosistem yang lebih komprehensif, tidak hanya berbasis pada preferensi individu

seperti metode standar yang ada. Ketiga nilai tersebut dapat diintegrasikan dengan pendekatan diskusi publik seperti yang disarankan oleh Sen (1995). Dengan pendekatan uji publik yang demokratis lah nilai dari sebuah ekosistem dapat ditentukan untuk mencapai tujuan yang efisien, adil dan berkelanjutan.

Konsep Ekonomi Tentang Nilai Dalam Penilaian Sumber Daya Kawasan dan Lahan

Teori Penilaian Ekonomi Sumberdaya Kawasan dan Lahan

Oleh : Ahmad Arif Maulana (Senior Appraiser – TNR Consultant)

Konsep Ekonomi Tentang Nilai : Pandangan Neoklasik

Nilai ekonomi (economic values) dalam paradigma neoklasik dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS) (Grigalunas dan Conger 1995; Freeman III 2003 diacu dalam Adrianto 2005).

Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa.

Contoh menghitung CS dalam konteks nilai ekonomi sebuah komoditas dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini. Katakanlah anda sedang berjalan dalam keadaan cuaca panas dan anda sudah merasa sangat haus. Kemudian anda melewati sebuah tenda tempat penjualan air mineral dingin dalam kemasan gelas. Jumlah dan harga yang mampu anda bayar (Willingness to Pay; WTP) terhadap setiap unit gelas yang anda akan minum menuruti sebuah pola diminishing return of satisfaction.

Total Willingness to Pay (WTP) dan Consumers Surplus

Jumlah Barang

WTP

Cost

Incremental


Q (Gelas)

(Rp)

(Rp)

CS


1

5,00

1,00

4,00


2

2,00

1,00

1,00


3

1,5

1,00

0,50


Total

8,50

3,00

5,50


Pada gelas pertama, kemampuan anda untuk membeli terletak pada level tertinggi (Rp. 5,00) yang menandakan bahwa anda sangat haus. Apabila harga air mineral lebih dari Rp 5,00 per gelas, maka anda akan mencari penjual lain. Namun apabila harganya kurang dari Rp 5,00 per gelas, maka anda akan membeli gelas air mineral tersebut.

Ternyata harga air mineral yang dijual di tenda tersebut hanya Rp. 1,00 per gelas, sehingga consumer surplus anda untuk gelas ke-1 adalah Rp. 5,00 – Rp. 1,00 atau Rp. 4,00. Semakin banyak gelas yang anda konsumsi, maka rasa haus akan semakin hilang dan kemampuan anda untuk membayar (WTP) air mineral menjadi turun. Dari Tabel 1

dapat dilihat bahwa total WTP adalah Rp. 8,50 sedangkan biaya yang harus dikeluarkan sampai gelas ke-3 adalah Rp. 3,00 (harga air mineral tetap Rp. 1,00 per gelas).

Dengan demikian total consumer surplus anda adalah sebesar Rp. 8,50 – Rp. 3,00 atau Rp. 5,50. Sementara itu, producers surplus terjadi apabila ternyata biaya produksi per gelas air mineral tersebut adalah Rp. 0,25, sedangkan harga jualnya Rp. 1,00 per gelas. Dengan demikian PS dalam konteks contoh di atas (3 gelas) adalah Rp. 3,00 –Rp. 0,75 = Rp. 2,25. Total economic surplus dalam contoh komoditas air mineral gelas adalah CS + PS = 5,50 + 2,25 = 7,25.

Sementara itu, Freeman III (2003) diacu dalam Adrianto (2005) menyebutkan bahwa pengertian “value” dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai intrinsik (intrinsic value) –atau sering disebut juga sebagai Kantian value- dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai intrinsik apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang mungkin terkait dengan komoditas lain. Komoditas yang sering disebut memiliki intrinsic value adalah komoditas yang terkait dengan alam (the nature) dan lingkungan (the environments). Sedangkan instrumental value dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu.

Dalam konteks tipologi nilai seperti tersebut di atas, Freeman III (2003) diacu dalam Adrianto (2005) berargumentasi bahwa konsepsi instrumental value lebih mampu menjawab persoalan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan, termasuk dalam hal ini pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut, daripada konsepsi instrinsic value. Untuk mengetahui nilai instrumental dari alam, tujuan spesifik dari upaya tersebut harus disusun. Dalam konteks ini, nilai ekonomi sumberdaya alam (the value of nature) lebih condong pada konsepsi tujuan untuk kesejahteraan manusia (human welfare). Dengan kata lain, sebuah komponen alam akan bernilai tinggi apabila kontribusinya terhadap kesejahteraan manusia juga tinggi. Sebuah pemikiran antroposentris yang memang melekat erat dengan disiplin ilmu ekonomi ortodoks. Konsep-konsep seperti individual welfare, individual preferences, dan lain-lain menjadi komponen utama bagi penyusunan konsep nilai ekonomi ini, seperti yang telah dijelaskan melalui konsep CS dan PS di atas.

Penilaian Tegakan Tanaman Jati

Penilaian Tegakan Tanaman Jati

Oleh : Ahmad Arif Maulana (Senior Appraiser – TNR Consultant)

Proses Penilaian

Untuk penilaian Tanaman Jati digunakan Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach), yaitu dengan cara membandingkan beberapa data jual beli dari tanaman jati yang terletak disekitar properti yang dinilai, yang akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan. Ini dilakukan dengan mengadakan penyesuaian perbedaan-perbedaan yang ada antara yang dinilai dengan data jual beli yang ada. Penyesuaian ini meliputi faktor-faktor umur, diameter tegakan dan jenis tanaman jati.

Selain dipergunakan asumsi-asumsi dalam perhitungan, juga diperlukan analisa atas kualitas dan kuantitas fisik tanaman secara keseluruhan.

Karakteristik Tanaman Jati

Jenis tanaman jati yang dinilai adalah jati emas, jati emas mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jati jenis lainnya yaitu daya tumbuh yang cepat, tingkat kelurusan yang tinggi dan warnanya yang kuning keemasan dengan serat yang lurus. Percepatan pertumbuhan jati emas rata-rata 20 cm setiap 10 hari sehingga masa panen lebih pendek dari pada tanaman jati biasa. Tanaman jati emas mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :

  1. Self pruning (merontokkandaun sendiri)
  2. Tumbuh lurus dan tidak banyak cabang
  3. Tajuk kurang dari sepertiga tinggi tanaman dan memiliki laja pertumbuhan tinggi
  4. Tanaman dewasa toleran terhadap penyakit busuk akar dan busuk panggal batang serta serangan rayap
  5. Bentuk daun relatif lebih membulat dibandingkan dengan jati lokal.
Dimensi Pohon Jati Emas Muda Berdasarkan Umur





No.
Priode Tumbuh (Bulan) Diameter Batang (Cm) Tinggi Tanaman (m)
1
6 3 - 3.5 2.5 - 3
2
10 5 - 6 5 - 6
3
18 7 - 8.5 6.5 - 7.5
4
20 10 - 11 8 - 9
5
30 11 - 12.5 >11





Dimensi Volume Pohon Jati Emas Dewasa Berdasarkan Umur





No. Tahun Ke Diameter Batang (Cm) Tinggi Tanaman (m) Volume Kayu per Pohon (m3)
1 5 20 14 0.42 x 90% = 0.38
2 6 - 7 24 15 0.61 x 90% = 0.55
3 8 - 10 30 16 1.09 x 90% = 0.98
4 11 - 12 36 18 1.72 x 90% = 1.55
5 13 - 15 39 19 2.18 x 90% = 1.96





Persyaratan Tumbuh Pohon Jati

Pohon jati membutuhkan syarat lingkungan yang khusus di dalam perkembangan dan pertumbuhannya, seperti tanah, curah hujan, suhu udara, kelembaban dan ketinggian tempat yang merupakan media tumbuh bagi tanaman.

Kondisi lingkungan yang sesuai secara agronomis untuk pertumbuhan yang optimal pohon jati adalah sebagai berikut :

A. Iklim

· Angin 40 – 48 km/jam

· Tinggi tempat 700 s/d 2.000 dpl

· Curah hujan 1.200 s/d 3.000 mm/thn

· Bulan kering (curah hujan <60>

· Sinar matahari 50% - 70% atau paling sedikit terkena sinar matahari selama 100 hari dalam setahun

· Suhu udara rata-rata 10-40°C

B. Ketinggian Tempat

· Tanaman jati emas dapat tumbuh pada berbagai ketinggian, kisaran yang ideal adalah 30 – 900 m dpl.

C. Kondisi Tanah

· Tanaman jati emas bias dibudidayakan pada tipe atau semua jenis tanah, jenis tanah yang paling baik adalah tanah lempung sampai lempung berpasir dengan fraksi liat 7% - 75%, debu 25% - 50% dan pasir maksimal 50%, dengan Ph tanah 5.5 – 7.5.

Penanaman Jati Emas

A. Persiapan Lahan

Tujuan Penyiapan lahan adalah untuk menyediakan tempat hidup yang sebaik – baiknya bagi tanaman. Langkah awal hádala membersihkan lahan dari sisa – sisa tanaman yang masih tertinggal, kendala fisik yang paling utama pada lahan marginal hádala bahaya erosi. Secara klasikal, cara yang sering dianjurkan adalah membuat terasering, dengan biaya mahal. Setelah persiapan lahan selesai termasuk usaha-usaha reklamasinya bila ada, kemudian membuat lubang tanam dengan usuran 30 cm x 30 cm x 30 cm atau 40 cm x 40 cm x 40 cm atau 50 cm x 50 cm x 50 cm tergantung pada kondisi lahan, jarak tanam yang ideal adalah 2 m x 2.5 m atau 2.5 m x 3 m, kemudian masing – masing dicampur pupuk kandang dan sekam padi dengan perbandingan 1 :1 : 1 setelah itu tanah dan lubang tanam dibiarkan (diangin-anginkan) selama ± 2 minggu.

B. Penanaman

Waktu yang tepat untuk penanaman adalah pada awal musim hujan sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perawatan (penyiraman). Sebelum bibit ditanam, tanah galian yang sudah dicampur pupuk kandang dan sekam padi dimasukkan kedalam lubang tanam sekitar 1/3 dari kedalaman lubang, estela itu polibag dibuang dan bibit ditimbun dengan sisa tanah bekas galian lubang.

C. Pemeliharaan Tanaman Jati

Pemeliharaan adalah bagian penting dalam statu siklus pertumbuhan tanaman dan menjaga tanaman dari serangan hama maupun penyakit, komponen pemeliharaan meliputi :

1. Penyiraman, penyiraman tanaman diatur agar tidak sampai mengenangi batang karena akan menimbulkan penyakit pada leher batang.

2. Pemupukan, dilakukan secara berkala agar pertumbuhan tanaman lebih optimal, untuk tanaman jati muda membutuhkan unsur kalsium (Ca) dan unsur magnesium (mg) dalam jumlah yang cukup banyak dan untuk tanaman dewasa jumlahnya tidak terlalu banyak seperti tanaman muda

Pemupukan Tanaman Jati











Umur Dosis Pupuk
Tanaman Urea ZA TSP ZK Dolomit Pupuk Kandang
(Bulan) g/pohon g/pohon g/pohon g/pohon g/pohon Kg/pohon














2 Minggu sebelum tanam 100 50 100 50 1 10
1 25 50 25 50 1000 -
3 15 25 - - 0.05 -
6 10 25 - - 25 10
12 100 200 25 100 20 20
24 200 400 50 200 40 40
36 300 600 75 300 60 60
48 400 800 100 400 80 80
60 500 1000 125 500 100 100
72 600 1200 150 600 120 100
84 700 1400 175 700 140 100
> 84 800 1600 200 800 160 100







3. Pengapuran dan pengendalian gulma

4. Pemangkasan tunas air

5. Penjarangan

6. Pengendalian hama dan penyakit


D. Pemanenan dan Pola Perhitungan Tanaman Jati

Perhitungan produksi atau volume pohom dihitung per satuan pohon, untuk pohon jati emas perhitungan volume produksi satu pohon hanya diambil 90%nya saja. Pemanenan baru dimulai dilakukan ketika tanaman sudah mencapai umur 7 – 8 tahun. Jumlah tanaman yang ditebang biasanya hanya 35% dari seluruh jumlah pohon yang ada, penebangan terakhir dilakukan ketika tanaman berumur sekitar 12 – 15 tahun.